Jumat, 21 Agustus 2009

senang bersama kecerdasan holistik

Tema : aku dan kecerdasan holistik

sebagian besar manusia telah mendapatkan pengetahuan melalui pengalaman yang dialaminya
pengalaman - pengalaman yang di alaminya sangat bersifat rasional dan imajinasi serta hati nurani
dalam upaya mencari pengalaman manusia malakukan upaya-upaya mencari pengalaman manusia melakukan sesuatu yang lebih rasional dan lebih nekad (berani).
di perlukan pemikiran yang lebih mendalam tentang pola-pola kehidupan yang lebih kreatif yang akan membuat manusia tidak akan memikirkan diri mereka sendiri
dalam sebuah sistematik yang ada pada era saat ini kecerdasan tidak akan lengkap tanpa kecerdasan spritual








Kamis, 23 Juli 2009

dead squadddd

Deadsquad

Setelah tiga tahun berkelana dari panggung ke panggung dan berganti-ganti personil, akhirnya band death metal allstar ini merilis album perdana mereka, Horror Vision.

( Penulis : Ferry Irawan )

Saat didirikan di bulan Februari 2006, band ini adalah sebuah side project yang memainkan lagu-lagu dari band oldschool metal seperti Slayer, Anthrax, Pantera, dan Sepultura. Waktu itu personilnya adalah Stevi Item eks Step Forward (gitar), Ricky Seringai & Step Forward (gitar), Boni eks Tengkorak (bass), dan Andyan eks-Siksa Kubur (drum). Atas kesepakatan bersama, pada 29 Agustus 2006 band ini resmi diberi nama DEADSQUAD (DS).

Tapi karena kesibukannya di Seringai dan sebagai jurnalis di Rolling Stones Indonesia, Ricky harus meninggalkan Deadsquad. Posisinya digantikan oleh Prisa eks Zala. Sementara itu, pencarian posisi vokal diakhiri dengan bergabungnya Babal (Alexander).

Sebagai satu-satunya personil cewek, Prisa nggak bertahan lama di Deadsquad. November 2007, dia keluar dan Deadsquad terpaksa bermain dengan format satu gitar. Untungnya di bulan Oktober 2008, Coki Bollemeyer menyatakan bersedia untuk bergabung dengan Deadsquad dan mengisi posisi gitar. Bersamaan dengan itu, Daniel (Abolish Conception) juga bergabung menggantikan Babal sebagai vokalis.

Personil DeadSquad sekarang adalah Daniel (vokal), Stevi (gitar), Coki (gitar), Boni (bass), dan Andyan (drum).

Tanggal 9 Maret lalu, bertepatan dengan penampilan mereka sebagai opening act konser Lamb of God, Deadsquad resmi merilis album perdana mereka yang berjudul Horror Vision.

Pengerjaan album yang berisi delapan track ini nggak butuh waktu lama. Salah satu alasannya adalah mengejar waktu rilis yang bersamaan dengan konser Lamb of God. Tapi meski singkat, bukan berarti album ini dikerjakan asal-asalan. Menurut mereka, materi Horror Vision adalah dokumentasi dari kemampuan terbaik mereka saat ini. “Kami sampai melewati ambang batas kemampuan kami masing-masing,” ungkap Coki.

Gitaris yang juga bermain di Netral ini bahkan masih belum percaya kalo dia dan teman-teman barunya ini bisa bermain kayak gitu. Maksimal. “Gue bahkan masih belum percaya kalo di rekaman itu kita yang bermain,” sahutnya.

Barisan lagu di Horror Vision emang berasa kental death metalnya. Beberapa lagu lama yang mereka sertakan di album ini sudah mereka modifikasi sedemikan rupa struktur dan aransemennya. Yang pasti sih, jadi terdengar lebih cepat.

“Ibarat mobil, kita modifikasi. Ada orang yang bikin lebih ceper, ganti pelek, dan lain-lain. Nah, kalo kita, semuanya kita tambahin noss,” ujar Tepi, sambil ketawa. Yang ikutan mereka “acak-acak” adalah lagu Rise dari Sepultura, yang mereka cover dan masukkan ke album ini. Lagu dari band yang emang mereka suka banget.

Nah, ngomongin soal band idola, jadi penasaran, band apa sih yang mempengaruhi musikalitas mereka di album ini? “Ya, kebanyakan band-band death metal sih,” jelas Daniel.

Belakangan beberapa nama meluncur dari mulutnya. Mulai dari Visceral Bleeding, Spawn of Possesion, Disavowed, Decrepit Birth, sampai dengan Planet X, mereka akui sebagai influence mereka.

Sangar? Pastinya. Paling nggak, mereka berani menjamin kalo kita nggak bakal menemukan kebosanan saat mendengar barisan lagu mereka. “Nggak ada yang membosankan. Mulai dari aransemen sampai struktur,” jamin Coki.

Buat mengimbangi ucapan temannya ini, Daniel angkat bicara. “Mungkin lagu kami nggak lebih bagus dari band-band lain. Tapi yang pasti, beda,” ucapnya, yakin. (Lika/Erick)

best rockkk performance

The S.I.G.I.T.

One of the best rock act in Indonesia is back.

( Penulis : Lika Aprilia )

Banyak yang bertanya-tanya, ke mana The S.I.G.I.T. setelah dua tahun lalu merilis album perdana mereka yang fenomenal, Visible Idea of Perfection. Beberapa berita tentang band rock asal Bandung ini emang sempat berseliweran di berbagai media. Manggung di Australia dan Amerika, misalnya. Atau rencana membuat DVD. Tapi kiprah Rekti (vokal), Farri (gitar), Adit (bass), dan Acil (drums) sepertinya nggak sekencang dulu lagi.

Jangan keburu berpikir buruk. Mereka cuma sedang sibuk mempersiapkan materi album kedua yang katanya bakalan jauh lebih rumit. Dan untuk menjembatani album pertama dengan album kedua mereka nanti, The S.I.G.I.T. merilis sebuah EP bernama Hertz Dyslexia.

Kenapa Hertz Dyslexia?
"Terserah orang mau menafsirkan apa. Dari dulu kami emang suka bermain dengan kata-kata. Kami suka asbun (asal bunyi –Red.), dan baru belakangan kami cari artinya," aku Rekti.

Perlu digaris bawahi sekali lagi bahwa Hertz Dyslexia ini adalah EP, bukan album, meskipun di dalamnya termuat total sebelas lagu. Nah, sekarang muncul pertanyaan. Kalo ternyata mereka punya sebelas lagu, kenapa nggak langsung rilis album aja?

Ternyata jawabannya cukup mengejutkan. Mereka menganggap kalo materi mereka ini belum layak untuk jadi album. Mereka bahkan mengaku masih nggak puas dengan materi rekaman mereka ini. “Bukan berarti ini materi ‘dibuang sayang’. Kami suka materi kami di sini,” tangkis Rekti, cepat. “Cuma emang masih belum layaklah kalo buat album,” tambah Acil.

Farri juga angkat bicara. Menurutnya, mereka masih merasa nggak ada aura album di rekaman mereka kali ini. “Lagu-lagunya masih berantakan. Lebih mirip kompilasi dari lagu-lagu kami. Nggak ada korelasi antar lagu, jelas Rekti.

EP yang dijual satu pake dengan bonus DVD konser ini, selain berfungsi untuk mengingatkan para Insurgent Army bahwa 'The S.I.G.I.T. masih ada', juga untuk memberi gambaran tentang album kedua mereka nanti.

“Musik kami di sini lebih pakai feel, bikinnya. Lebih ngejam. Semuanya mengalir gitu aja. Nggak kayak album pertama kami, di mana kami dengan sadar berusaha menciptakan lagu yang enak dan punya hook,” aku Rekti, saat ditanya beda materi di sini dengan album The S.I.G.I.T. sebelumnya. "EP ini jadi jembatan aja. Materi kami buat album nantinya, bakal jauh lebih ribet dari ini,” tambah Farri.

Mereka berharap album kedua ini bisa dirilis tahun ini juga. Tapi dengan semua idealisme dan totalitas mereka, emang nggak gampang kayaknya untuk rekaman album begitu aja dengan hasil yang kurang maksimal. It needs more time and effort. Rekti bahkan mengumpamakan bikin album itu seperti bikin Tugas Akhir saat kuliah.

“Apakah kita cuma pengen selesai dan lulus, atau punya tugas akhir yang belakangan dijadikan jurnal, dipakai oleh banyak orang, dan diseminarkan internasional?” beber Rekti lagi. “Album itu merupakan dokumentasi perjalanan sejarah kita. Jadi nggak mungkin dikerjakan asal-asalan,” tambah Acil.

Pendeknya, mereka pengen jadi band rock Indonesia yang dikenal karena karyanya yang emang dahsyat. Mereka nggak mau kayak band Indonesia kebanyakan yang mengaku memainkan rock, padahal kalo didengerin,

band of the week

The S.I.G.I.T.

One of the best rock act in Indonesia is back.

( Penulis : Lika Aprilia )

Banyak yang bertanya-tanya, ke mana The S.I.G.I.T. setelah dua tahun lalu merilis album perdana mereka yang fenomenal, Visible Idea of Perfection. Beberapa berita tentang band rock asal Bandung ini emang sempat berseliweran di berbagai media. Manggung di Australia dan Amerika, misalnya. Atau rencana membuat DVD. Tapi kiprah Rekti (vokal), Farri (gitar), Adit (bass), dan Acil (drums) sepertinya nggak sekencang dulu lagi.

Jangan keburu berpikir buruk. Mereka cuma sedang sibuk mempersiapkan materi album kedua yang katanya bakalan jauh lebih rumit. Dan untuk menjembatani album pertama dengan album kedua mereka nanti, The S.I.G.I.T. merilis sebuah EP bernama Hertz Dyslexia.

Kenapa Hertz Dyslexia?
"Terserah orang mau menafsirkan apa. Dari dulu kami emang suka bermain dengan kata-kata. Kami suka asbun (asal bunyi –Red.), dan baru belakangan kami cari artinya," aku Rekti.

Perlu digaris bawahi sekali lagi bahwa Hertz Dyslexia ini adalah EP, bukan album, meskipun di dalamnya termuat total sebelas lagu. Nah, sekarang muncul pertanyaan. Kalo ternyata mereka punya sebelas lagu, kenapa nggak langsung rilis album aja?

Ternyata jawabannya cukup mengejutkan. Mereka menganggap kalo materi mereka ini belum layak untuk jadi album. Mereka bahkan mengaku masih nggak puas dengan materi rekaman mereka ini. “Bukan berarti ini materi ‘dibuang sayang’. Kami suka materi kami di sini,” tangkis Rekti, cepat. “Cuma emang masih belum layaklah kalo buat album,” tambah Acil.

Farri juga angkat bicara. Menurutnya, mereka masih merasa nggak ada aura album di rekaman mereka kali ini. “Lagu-lagunya masih berantakan. Lebih mirip kompilasi dari lagu-lagu kami. Nggak ada korelasi antar lagu, jelas Rekti.

EP yang dijual satu pake dengan bonus DVD konser ini, selain berfungsi untuk mengingatkan para Insurgent Army bahwa 'The S.I.G.I.T. masih ada', juga untuk memberi gambaran tentang album kedua mereka nanti.

“Musik kami di sini lebih pakai feel, bikinnya. Lebih ngejam. Semuanya mengalir gitu aja. Nggak kayak album pertama kami, di mana kami dengan sadar berusaha menciptakan lagu yang enak dan punya hook,” aku Rekti, saat ditanya beda materi di sini dengan album The S.I.G.I.T. sebelumnya. "EP ini jadi jembatan aja. Materi kami buat album nantinya, bakal jauh lebih ribet dari ini,” tambah Farri.

Mereka berharap album kedua ini bisa dirilis tahun ini juga. Tapi dengan semua idealisme dan totalitas mereka, emang nggak gampang kayaknya untuk rekaman album begitu aja dengan hasil yang kurang maksimal. It needs more time and effort. Rekti bahkan mengumpamakan bikin album itu seperti bikin Tugas Akhir saat kuliah.

“Apakah kita cuma pengen selesai dan lulus, atau punya tugas akhir yang belakangan dijadikan jurnal, dipakai oleh banyak orang, dan diseminarkan internasional?” beber Rekti lagi. “Album itu merupakan dokumentasi perjalanan sejarah kita. Jadi nggak mungkin dikerjakan asal-asalan,” tambah Acil.

Pendeknya, mereka pengen jadi band rock Indonesia yang dikenal karena karyanya yang emang dahsyat. Mereka nggak mau kayak band Indonesia kebanyakan yang mengaku memainkan rock, padahal kalo didengerin,